Translate

Saturday, April 05, 2014

Pengertian, Hukum, dan Macam-macam Riba

A.    Pengertian Riba
Menurut bahasa riba memiliki beberapa pengertian, yaitu ;
-          Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
-          Berkembang, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
-          Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah swt. Dalam surah Al-Haj.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba ;
-          Syaikh Muhammad Abduh, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjamkan hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang ditentukan.
-          M. Quraish Shihab,  Riba adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang butuh dengan mengeksploitasi kebutuhannya.
-          Ibnu Katsir, riba adalah menolong atau  membantu, namun mencari keuntungan di balik pertolongan tersebut bahkan mencekik dan menghisap darah.

B.     Hukum Riba
Dari pengertian riba yang ada yakni sebuah penambahan dalam tukar menukar atau jual beli maka hukum riba menurut syariat islam adalah haram. Keharaman riba ini berlaku baik untuk penambahan dengan nilai sedikit maupun dengan nilai besar. Larangan akan melalukan riba telah tertulis jelas dalam al-qur’an tepatnya pada surat Al-Baqarah ayat 275 dan 279 beserta ayat-ayat berikutnya . Perbuatan riba sama halnya dengan dosa besar yang bahkan lebih besar daripada melakukan zina, mencuri bahkan minum khamer. Allah dan Rosulullah SAW telah melaknat siapapun yang memakan harta riba karena riba sudah jelas hukumnya haram dalam agama Islam.

C.    Macam-macam Riba
Menurut sebagian ulama riba dibagi menjadi tiga yaitu Riba Nasi'ah, Riba Fadhal dan riba Yad.
-          Riba Nasi'ah ialah riba yang sudah ma'ruf di kalangan jahiliyah, yaitu seseorang menghutangi uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, dengan syarat berbunga sebagai imbalan limit waktu yang diberikan itu. Misalnya, seorang yang berhutang seribu rupiah yang mesti dibayar dalam jangka  waktu yang telah ditetapkan, tetapi tidak terbayar olehnya pada waktu itu, maka bertambah besar jumlah utangnya, riba semacam inilah yang kini berlaku di bank-bank konvensional.
Sufyan telah meriwayatkan dari Humaid dari Maisarah dia berkata, "aku bertanya kepada Ibn Umar, bahwa aku berhutang dengan bertempo, kemudian orang tempat aku berhutang itu berkata "Lunaskanlah hutangmu sekarang ini juga dan kupotong hutangmu itu.'' Ibnu Umar berkata ,itu Riba.
-          Riba Fadhal adalah tambahan pada salah satu dua ganti kepada yang lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu yang sama secara tunai. Islam telah mengharamkan riba ini dikarenakan dapat mengantarkan kepada riba yang hakiki yaitu riba Nasi'ah.
Dari Abu Sa'id al-Khudri, dia berkata; Bilal datang menemui Nabi Saw membawa kurma burni (kurma yang bagus) lalu Nabi Saw bertanya kepadanya; Darimana kamu mendapatkan ini? Bilal menjawab; kami mempunyai kurma yang buruk lalu saya jual (tukar) dua Sha' dengan satu Sha' kurma yang baik. Nabi berkata kepadanya; '' aduh bukankah ini yang dikatakan riba dan yang dikatakan riba jangan kamu lakukan, namun jika kamu ingin membeli, maka jual kurma yang buruk dan beli kurma yang baik.(Syaikhnani, Muslim)
-          Menurut Sulaiman Rasyid, Riba Yad adalah dua orang yang bertukar barang atau jual beli berpisah sebelum timbang terima. Sedangkan menurut Ibn Qayyim, perpisahan dua orang yang melakukan jual beli sebelum serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi riba. Riba yad adalah riba yang terdapat pada jual beli tidak secara tunai karena adanya penangguhan pembayaran. Dalam hal ini, penjual menetapkan harga yang yang berbeda pada barang yang sama antara pembeli tunai dan pembeli tidak tunai. Perbedaan harga inilah yang menurut sebagian ulama termasuk riba karena adanya penambahan harga. Menurut para ulama, hal ini merugikan pembeli.
Skema macam-macam riba :




D.    Tafsir Surah Al-Baqarah 275-279 (dasar hukum mengenai riba)
Persoalan riba telah dibicarakan Al-Qur'an sebelum surah Al-Baqarah 275-279. Kata riba ditemukan dalam empat surah, yaitu Al-Imran, An-Nisa', Ar-Rum dan Al-Baqarah. Ayat terakhir tentang riba adalah ayat-ayat yang terdapat dalam surah Al-Baqarah. Bahkan ayat ini dinilai sebagai ayat hukum terakhir atau ayat terakhir yang diterima oleh Rasul saw. Umar bin Khaththab berkata, bahwa rasul saw. wafat sebelum sempat menafsirkan maknanya, yakni secara tuntas.
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini telah didahului oleh ayat-ayat lain yang bicara tentang riba, maka tidak heran jika kandungannya bukan saja melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka[9]. Ash-Shabuni menafsirkan ayat ini, sebagai berikut :
1.      Maksud "makan" pada ayat di atas, ialah mengambil dan membelanjakannya. Kata ”makan" ini sering pula dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
2.      Dipersamakannya pemakan-pemakan riba dengan orang-orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu; Allah memasukan riba dalam perut mereka itu, lalu barang itu memberatkan mereka. Hingga mereka itu sempoyongan, bangun jatuh. Itu akan menjadi tanda mereka di hari akhirat nanti Sedangkan menurut M. Quraish Shihab :
Sebenarnya tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka yang melakukan praktek riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingun dan berada dalam ketidakpastian, disebabkan kerena pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Banyak orang, lebih-lebih yang melakukan praktek riba, menjadikan hidupnya hanya untuk mengumpulkan materi, dan saat itu mereka hidup tak mengenal arah. Benar, orang-orang yang memakan riba telah disentuh setan sehingga bingun tak tahu arah.
3.      Perkataan " sesungguhnya jual beli sama dengan riba" itu disebut "tasybih maqlub" (persamaan terbalik), sebab "musayabbah bih"-nya nilainya lebih tinggi. Sedangkan yang dimaksud disini ialah: Riba itu sama dengan jual beli, sama-sama halalnya karena mereka berlebihan dalam keyakinannya, bahwa riba itu dijadikannya sebagai pokok dan hukumnya halal. Sehingga dipersamakan dengannya dengan jual beli. Menurut M. Quraish Shihab
Ucapan ”jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba" ucapan tersebut (Pelaku riba) menunjukkan bagaimana kerancuan berpikir dan ucapan mereka. Mestinya mereka berkata "Riba, tidak lain kecuali sama dengan jual beli" karena masalah yang dibicarakan masalah riba, sehingga itu yang harus didahulukan penyebutannya, tetapi mereka membalikannya. Ini  contoh sederhana dari pembalikan logika mereka serta keterombangambingan yang mereka alami. Bisa jadi juga, ucapan itu untuk menggambarkan, bertapa riba telah mendarah daging dalam jiwa mereka sehingga menjadikannya sebagai dasar transaksi ekonomi yang diterima sebagaimana halnya jual beli. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli, jual beli saling menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba merugikan salah satu pihak.
4.      Yang menjadi titik tinjauan dalam ayat " Allah memusnahkan riba dan menumbuhkan sedekah" ialah Allah menjelaskan, bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan penyebab tidak berkembangnya harta itu. Sedangkan sedekah adalah penyebab tumbuhnya harta dan bukan penyebab berkurangnya harta itu.
5.      Kata "perang" dengan bentuk nakirah adalah menunjukan besarnya persoalan ini, lebih-lebih dengan dinisbatkannya kepada Allah dan Rasul. Seolah-olah Allah mengatakan: percayalah akan ada suatu peperangan dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dikalahkan. Ini memberi isyarat, bahwa akibat yang paling buruk akan dialami oleh orang-orang yang biasa makan harta riba.
6.      Perkataan "Kaffar" dan "Atsiem" kedua-duanya termasuk shighat mubalaghah, yang artinya: banyak kekufuran dan banyak berbuat dosa. Ini menunjukkan, bahwa haramnya riba itu sangat keras sekali, dan termasuk perbuatan orang-orang kafir, bukan perbuatan orang-orang islam.
7.      Perkataan "Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah kesempatan sampai ia berkelonggaran" itu untuk memberi semangat kepada pihak yang menghutangi supaya benar-benar memberi kepada pihak yang berhutang itu sampai ia benar-benar mampu. Rasul Saw. bersabda:Barang siapa menangguhkan pembayaran hutang orang yang berada dalam kesulitan, atau membebaskannya dari hutangnya, maka dia akan dilindungi Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya (hari kiamat) (HR. Imam Muslim).
8.      Sebagian ulama berkata, barangsiapa yang merenungkan ayat-ayat di atas dengan segala kandungannya, seperti tentang siksaan pemakan riba, orang yang menghalalkan riba serta besarnya dosanya, maka dia pun akan tahu betapa keadaan mereka-mereka itu kelak di akhirat, mereka akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka, dipersamakan dengan orang yang kafir dan akan mendapat perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam la'nat.
9.      Ayat-ayat riba ini ditutup dengan " dan takutlah kepada suatu hari dimana kamu sekalian akan dikembalikan kepada Allah di hari itu, kemudian tiap-tiap jiwa akan dibalas dengan penuh sesuai apa yang dikerjakan dan mereka tidak akan dianiya." Dan ayat ini adalah ayat yang terakhir turun setelah sembilan hari kemudian rasul saw wafat. 
E.     Illat Hukum Larangan Riba
Yang dimaksud dengan illat hukum adalah sesuatu sifat yang menjadi motivasi atau yang melatar-belakangi terbentuknya suatu hukum. Menurut ulama Hanafiyah, illat hukum keharaman riba al-nasi’ah adalah kelebihan pembayaran dari pokok hutang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu. Misalnya, Ahmad berhutang kepada Amir sejumlah dua ratus ribu rupiah, yang pembayarannya dilakukan bulan depan dan dengan syarat pengembalian hutang itu dilebihkan menjadi dua ratus lima puluh ribu rupiah. Kelebihan uang dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba al-nasi’ah. Unsur kelebihan pembayaran dapat berlipat ganda, apabila hutang tidak dapat dibayar pada saat jatuh tempo,  menurut ulama Hanafiyah, merupakan suatu kezaliman dalam muamalah. Kezaliman, bagaimanapun bentuknya, menurut mereka adalah haram.  Oleh karena itu, Allah menyatakan pada akhir ayat riba al-Baqarah, 2 ; 279 : “….kamu tidak (jangan) menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. Ulama Malikiyyah , Syafi’iyyah dan Hanabilah memandang illat hukum larangan riba an-nasi’ah, karena ada kelebihan (tambahan-bunga) yang dikaitkan dengan pembayaran tunda (tenggang waktu), baik kelebihan itu dari pokok hutang atau pada barang sejenis maupun tidak sejenis.  Mereka sepakat, jika kelebihan itu tidak ditetapkan dimuka, maka kelebihan itu tidak termasuk riba. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi, ketika membayar hutang kepada Jabir ibn’ Abdillah , Nabi melebihkannya. ( hadits riwayat Bukhori Muslim).
Berdasarkan pendapat ulama ahli fiqh mengenai riba diatas, maka dapat dipahami bahwa illat hukum larangan riba adalah adanya tambahan (bunga) dari pokok harta yang tidak dimbangi oleh transaksi pengganti yang dibenarkan oleh syara’.

Kontroversi Seputar Fatwa MUI Tentang Bunga Bank
Posted on October 10, 2011
MUI akhirnya menjatuhkan vonis haram atas bunga bank, tepat di penghujung tahun 2003 kemarin. Tak ayal, keputusan yang oleh sebagian orang diangap mendadak ini memancing respons dari pelbagai pihak. Tidak sedikit yang kemudian bertanya-tanya. Benarkah bunga yang selama ini dijadikan basis oleh bank-bank konvensional adalah riba? Tidak adakah pengecualian untuk bunga yang “wajar” dan proporsional? Bagaimana kesimpulan halal atau haramnya bunga bank diperoleh?
Tulisan ini akan mencoba untuk melakukan pengkajian ulang, dari sudut pandang syariah Islam, terhadap bunga bank. Mudah-mudahan ia dapat memberi kontribusi untuk melihat  jelas duduk persoalan bunga bank.


ANTARA BUNGA DAN RIBA
Pada dasarnya, bagi bank-bank konvensional, bunga memang merupakan salah satu aspek yang memainkan peran yang sangat vital dalam kegiatan usahanya. Hal ini disebabkan ia terkait langsung dengan banyak dari produk jasa bank itu sendiri. Baik itu berbentuk simpanan maupun kredit. Masing-masing dengan bentuknya yang beraneka ragam seperti giro, deposito berjangka, tabungan, obligasi, KUK, dan lain-lain. Mengingat luasnya bidang usaha perbankan tersebut, pembahasan ini akan lebih memfokuskan diri pada konsep bunga bank itu sendiri dan tidak terlalu jauh merinci aplikasi sistem bunga dalam praktiknya. Menurut Dahlan Siamat, bunga (interest), “dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman; dan dari sisi penawaran merupakan pendapatan atas pemberian kredit.”
Bunga di sini dipandang sebagai sewa atau harga dari uang. Ia adalah imbalan atas pemakaian uang. Katakanlah Anda meminjam dana sebesar Rp. 10.000 dari Bank XYZ. Pada akhir tahun, Anda diharuskan untuk mengembalikan sebesar Rp. 10.100. Selisih antara uang pokok dan jumlah yang harus dikembalikan, yaitu Rp. 100, adalah bunga.
Selanjutnya adalah riba. Lebih khusus lagi riba yang berhubungan langsung dengan transaksi keuangan atau utang-piutang. Dalam hal ini adalah riba nasi’ah dan riba jahiliyyah. Dalam Al-Qamus Al-Fiqhiy, riba nasi’ah dirumuskan dengan “tambahan yang dipersyaratkan yang diambil oleh pemberi piutang dari orang yang berutang sebagai ganti penundaan (pembayaran).”
Adapun riba jahiliyyah, maka ia dijelaskan sebagai “ketika seseorang berutang pada orang lain dan waktu pelunasan telah jatuh tempo, pemberi piutang berkata: engkau lunasi sekarang atau engkau menambah (waktu pelunasan)? Jika ia memberi tambahan (waktu), ia juga mewajibkan tambahan (atas uang pokok).” Dengan kata lain, riba jahiliyyah adalah kredit yang dibayar lebih dari pokoknya karena kreditur tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Dari dua rumusan riba di atas nampak bahwa inti dari riba dalam transaksi keuangan dan utang-piutang, menurut pengertian ahli-ahli fiqhi, adalah penambahan atas utang. Inti dari riba ini persis sama dengan pengertian bunga. Sehingga bisa dikatakan bahwa sebenarnya riba adalah terjemahan Arab dari kata “bunga”. Untuk contoh yang dikemukakan tadi, Anda sebenarnya cukup mengembalikan utang dalam jumlah yang sama dengan yang Anda pinjam: Rp. 10.000. Tambahan Rp. 100, dalam kaca mata Islam, adalah riba.

DALIL-DALIL TENTANG HARAMNYA BUNGA BANK
Dalil-dalil yang mengharamkan bunga diangkat dari Al-Qur’an, Hadits, atsar-atsar dari sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم dan ijma’. Berikut perinciannya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. al-Baqarah(2): 278-279)Ayat ini menegaskan bagian yang berhak diambil oleh debitur atas kredit yang ia berikan, yaitu “ru’usu amwalikum”, pokok hartamu. Tidak lebih tidak kurang. Senada dengan ayat ini adalah hadits berikut :

oAbdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Barangsiapa yang memberi pinjaman, janganlah ia mempersyaratkan (keuntungan tertentu) selain pelunasan (uang pokoknya).”
o Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang memberi piutang, janganlah ia mempersyaratkan (sesuatu) yang lebih dari piutangnya. Karena walaupun hanya segenggam makanan hewan (yang engkau ambil) maka ia adalah riba.”
oPara ulama Islam telah ijma’ (konsensus) mengenai haramnya bunga. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan: “Telah sepakat para ulama bahwa kreditor, jika ia mempersyaratkan tambahan atas kredit yang ia berikan, sebagai sesuatu yang haram.”
Dalam disertasinya, Dr. Umar al-Mutrik menghimpun sebelas pernyataan ulama, dari zaman yang berbeda-beda, yang melaporkan ijma’ ini.Demikianlah dalil-dalil mengenai haramnya bunga. Tidak terkecuali, tentu saja, termasuk di dalamnya bunga bank. Semua dalil yang diangkat tadi berlaku umum dan universal, sebagaimana keumuman dan universalisme Islam itu sendiri.Sampai di sini, Anda mungkin menangkap bahwa pembicaraan kita sejak tadi hanya berkisar pada bunga atas pinjaman. Lalu, apa pasal dengan simpanan? Apakah hukum riba ini juga berlaku untuk tambahan atas simpanan? Berikut ini pembahasaannya.

JASA PENYIMPANAN BANK DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
Akar permasalahannya ialah: benarkah simpanan di bank (berupa giro, deposito atau tabungan) adalah “simpanan” menurut Islam? Persoalan ini hendaknya diperjelas terlebih dahulu untuk mendapatkan jawaban yang benar-benar islami. Simpanan, yang dalam terminologi para ahli fiqhi disebut wadi’ah, didefinisikan sebagai amanah yang sengaja ditinggalkan pada orang lain untuk dijaga. Sebagaimana pada jenis transaksi syariah yang lain, wadi’ah juga memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan transaksi-transaksi syari’ah yang lain. Di antaranya adalah,
Pertama, aset yang disimpan berstatus amanah. Ketentuan ini bermakna bahwa kerusakan dan atau kehilangan yang terjadi pada aset tersebut diluar tanggung jawab penerima simpanan. Aturan ini berlaku, dengan catatan, tidak ada unsur kelalaian dan atau kesengajaan pada rusak atau hilangnya aset yang dimaksud. Penerima simpan­an telah melakukan prosedur yang semestinya terhadap barang simpanan. Pakaian disimpan di dalam lemari, uang di brankas, dan mobil di garasi; adalah contoh-contoh sederhana. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabiصلى الله عليه وسلم “Barangsiapa yang diberi simpanan, ia tidak wajib menanggung.” Demikianlah jaminan hukum yang diberikan Islam kepada penerima simpanan.
Kedua, di sisi lain, penerima simpanan juga diikat oleh aturan lain. Penerima simpanan tidak dibenarkan oleh syariah untuk melakukan transaksi dalam bentuk apapun terhadap barang simpanan yang ada di tangannya. Tidak untuk tujuan produktif maupun konsumtif. Aset tersebut bukan miliknya, ia tetap merupakan milik penuh pemberi simpanan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan pengkhianatan terhadap amanah yang ia pegang.
Demikianlah beberapa di antara spesifikasi wadi’ah dalam Islam. Berdasarkan pada spesifikasi wadi’ah ini, tidak sulit untuk memahami bahwa konsep wadi’ah dalam Islam sangat jauh berbeda dengan praktik pada jasa penyimpanan uang di bank. Seorang nasabah tidak akan mau ambil pusing terhadap kerugian yang diderita bank akibat kebakaran, misalnya. Ia tetap akan menuntut untuk mendapatkan kembali uang depositonya. Plus, bunga yang dijanjikan bank. Di lain pihak, bagi bank sendiri, uang simpanan nasabah adalah sumber dana baginya untuk menjalankan roda kegiatan usahanya. Dana ini selanjutnya akan dialokasikan kepada bentuk bidang-bidang usaha bank yang lain.
Kalau demikian halnya, apakah hakikat simpanan pada bank menurut Islam? Melihat karakteristik simpanan uang di bank, ia adalah kredit oleh bank dari masyarakat. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sendiri menyebutkan bahwa kredit (dalam jasa bank) adalah
“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
Tidak menjadi masalah bagi pihak debitor untuk tujuan apa kreditnya akan dimanfaatkan. Pihak peminjam bebas melakukan transaksi apa saja yang ia kehendaki terhadap kredit yang ia peroleh. Yang penting, debitor mendapatkan kembali uangnya setelah jangka waktu yang disepakati.Ini berarti, bunga yang diserahkan oleh pihak bank terhadap nasabahnya yang menyimpan uang adalah riba yang diharamkan Islam. Ia adalah tambahan atas utang.Walau demikian, beberapa pemikir memandang bunga bank dalam perspektif yang berbeda.
Sementara pemikir ini berpendapat bahwa bunga bank memiliki alasan-alasan pembenaran tersendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mata uang dinar dan dirham relatif lebih stabil dibandingkan dengan mata uang lain. Kekebalan relatif ini disebabkan oleh nilai intrinsik (nilai nominal yang tertulis sesuai dengan nilai bahan baku) yang dimiliki mata uang ini karena terbuat dari emas dan perak. Berbeda dengan mata uang lain yang tidak memiliki nilai intrinsik tersebut. Terlebih lagi karena ia adalah mata uang tidak berbangsa.
Dalam kondisi stabil, selama kurun waktu 1.500 tahun, dengan modal uang 1-2 dinar, misalnya, seseorang tetap dapat membeli seekor kambing, tergantung pada besar dan kecilnya. Demikianlah sebagian keunggulan yang dimiliki oleh dinar dan dirham. Akan tetapi, mengasumsikan bahwa dinar dan dirham sama sekali tidak mungkin didera inflasi juga terlalu berlebihan. Karena pada akhirnya, betapapun, nilai yang dimiliki oleh dinar dan dirham adalah nilai yang diberikan oleh publik. Sama seperti nilai yang telah diberikan publik kepada mata uang lain. Sehingga, seluruh dampak mekanisme pasar yang mungkin menimpa mata uang lain juga mungkin terjadi pada dinar dan dirham.
Ibnu Taimiyah, yang bernota bene hidup di era penggunaan dinar dan dirham (w. 728 H/1328 M), pun menyadari hal ini. Ia mengakui bahwa mata uang pada masanya tersebut bukanlah maksud dan tujuan akhir. Ia tidak lebih dari sekadar fasilitas dalam transaksi manusia. Nilai yang dimilikinya diperoleh dari konsensus publik. Media apa pun, jika memiliki fungsi dan nilai yang sama, dapat menggantikan perannya. Sependapat dengan Ibnu Taimiyah, jauh sebelumnya, Malik telah menyatakan bahwa seandainya manusia sepakat untuk mempergunakan kulit-kulit binatang sebagai uang maka ia akan menghukuminya sama sebagaimana hukum dinar dan dirham.

Selanjutnya, andaipun kita ingin menjadikan inflasi sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam pembayaran hutang, maka hendaknya kita melakukannya secara adil dan konsisten. Disamping memperhitungkan kondisi inflasi, kita pun hendaknya memperhitungkan kondisi deflasi.
Tersisa masalah “zulm” yang diangkat dan dijadikan sebagai ‘illat. Secara sederhana, ada baiknya bagi kita untuk secara jeli membedakan antara hikmah dan ‘illat. Jika yang disebut pertama tidak dapat dijadikan sebagai landasan qiyas (metode analogi hukum Islam), yang disebut terakhir justru sebaliknya. Ia merupakan komponen penting dalam metodologi qiyas. Untuk lebih mudahnya, ambil contoh ibadah puasa. Sudah jamak diketahui bahwa ritual ini ternyata terbukti membawa dampak positif bagi kesehatan seseorang. Dampak positif bagi kesehatan di sini adalah hikmah puasa. Dan tentu merupakan sebuah kekeliruan jika seseorang enggan melakukan kewajiban puasa dengan alasan kondisi kesehatannya telah optimal sehingga tidak lagi membutuhkan puasa.

a.        Bunga yang dilarang adalah bunga yang keji dan berlipat ganda (riba fahisy). Suku bunga yang wajar dan proporsional diperkenankan. Bukankah Allah sendiri berfirman di dalam Al-Qur’an:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُو اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran[3]: 130)
Tanggapan
Dalil-dalil pengharaman bunga telah menetapkan bahwa kreditor tidak berhak mendapatkan selain modal pokok yang ia berikan. Penunjukannya lebih jelas dan lebih pasti terhadap perkara besar atau kecilnya bunga. Sedangkan penyebutan “berlipat-lipat” di dalam ayat ini adalah semata-mata dalam rangka menjelaskan kenyataan yang kerap terjadi di dalam praktik riba. Ayat tersebut sama sekali tidak mengindikasikan pembatasan jenis riba yang terlarang pada bunga yang berlipat-lipat saja. Gaya bahasa semacam ini dapat kita temukan pada banyak tempat dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah dalam surat sebelumnya, Al-Baqarah, pada ayat 41 disebutkan:
فَاتَّقُونِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ
“… dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”
Ayat ini tentu tidak bermakna bahwa boleh menukarkan ayat-ayat Allah apabila dengan harga yang tinggi. Ayat ini menyebut “harga yang rendah” untuk menginformasikan bahwa demikianlah keadaannya yang banyak terjadi. Adakah sesuatu yang lebih mahal daripada ayat-ayat Allah?
Memahami teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan Hadits) secara parsial memang dapat membawa kepada kesalahan fatal. Untuk terhindar dari kesalahan ini, seorang peneliti hendaknya memahami teks-teks tersebut sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Tidak tergesa-gesa menyimpulkan sebelum melihat teks-teks yang lain, utamanya yang juga membahas topik yang sama.

b.       Pihak debitor telah mengorbankah modalnya kepada pihak kreditor untuk ia kelola sehingga mendapatkan hasil. Seandainya modal tersebut ia investasikan, tentu ia akan mendapatkan untung yang mungkin jauh lebih banyak. Maka sudah selayaknya jika pengorbanan ini dihargai dalam bentuk pemberian bunga.
Tanggapan
Dalam utang-piutang, pihak debitor sebenarnya tidak dirugikan. Bahkan ia diuntungkan. Pasalnya, keberadaan uangnya pada kreditor menjadi jaminan terhadap uang tersebut. Bukankah keberadaan uangnya di tangannya membawa risiko uang tersebut terbakar, dicuri dan sebagainya? Ketika uang tersebut ia pinjamkan, bahkan seandainya kreditor sedang menderita kerugian, ia tetap berhak terhadap sejumlah uangnya secara penuh. Ini yang pertama.
Persoalan kedua, atas dasar apa sehingga debitor ini selalu mengasumsikan dirinya mendapatkan untung dari usahanya. Bukankah setiap usaha selalu menghadapi risiko gagal? Di sini, ia telah bertindak diskriminatif. Sebab dengan sistem bunga, ia telah menjadikan dirinya dalam posisi selalu beruntung dengan mengabaikan risiko untung-rugi kreditor.

FATWA-FATWA TENTANG BUNGA BANK
          Setelah melihat dalil dari masing-masing, jelas kiranya bahwa fatwa pengharaman bunga bank sudah semestinya diterima dengan baik. Dibandingkan dengan negara berpenduduk mayori­tas Muslim yang lain, Muslim Indonesia bisa dikatakan terlambat. Sebab fatwa haramnya bunga bank sebenarnya telah lama didengungkan di dunia luar. Tercatat sejak tahun 1900 hingga 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir senantiasa menegaskan keputusannya tentang ribanya bunga bank. Tahun 1970, di Pakistan, semua peserta Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) II, sepakat dengan suara bulat bahwa praktik bunga pada bank-bank konvensional bertentangan dengan syariah Islam. Fatwa senada juga dikeluarkan masing-masing oleh Konsul Kajian Islam Dunia di Kairo tahun 1965; Majmaul Fiqh Liga Muslim Dunia, Konferensi Internasional Ekonomi Islam I yang berlangsung di Mekah, dan Konferensi Internasional Fiqh Islam yang diselenggarakan di Riyadh. Abdullah al-Bassam bahkan melaporkan bahwa fatwa riba bank telah menjadi kesepa­kat­an dalam seluruh forum fiqh Islam di dunia saat ini. Disamping itu, tidak ketinggalan pula fatwa-fatwa dari ulama-ulama besar dan cendikiawan Muslim, seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Syaikh Abdullah bin Baz, Abul A’la al-Maududi, Dr. Yusuf al-Qardhawi, dll. Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak ungkapan Abdullah bin Sulaiman al-Mani’ tentang transaksi keuangan berikut ini “Siapa pun yang memperhatikan secara saksama ajaran Islam mengenai aktivitas individu dan masyarakat dalam pengumpulan harta dan pendistribusiannya akan memperoleh kesan bahwa Islam telah berusaha mempersempit ruang tukar-menukar uang . . . dan bahwa keluarnya uang dari perspektif ini akan berimplikasi negatif . . . karena menumpuknya uang pada sejumlah kecil manusia akan memberi mereka peluang hegemoni terhadap kebutuhan masyarakat luas . . . . ”
Wallahu ta’ala a’lam











DAFTAR PUSTAKA


No comments:

Post a Comment