A. Pengertian Riba
Menurut
bahasa riba memiliki beberapa pengertian, yaitu ;
-
Bertambah, karena salah satu perbuatan
riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
-
Berkembang, karena salah satu perbuatan
riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada
orang lain.
-
Berlebihan atau menggelembung, kata-kata
ini berasal dari firman Allah swt. Dalam surah Al-Haj.
Sedangkan
menurut istilah, yang dimaksud dengan riba ;
-
Syaikh Muhammad Abduh, berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh
orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjamkan hartanya (uangnya),
karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang ditentukan.
-
M. Quraish Shihab, Riba
adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang butuh dengan mengeksploitasi
kebutuhannya.
-
Ibnu Katsir, riba adalah menolong
atau membantu, namun mencari keuntungan di balik pertolongan
tersebut bahkan mencekik dan menghisap darah.
B. Hukum
Riba
Dari pengertian riba yang ada yakni sebuah
penambahan dalam tukar menukar atau jual beli maka hukum riba menurut syariat
islam adalah haram. Keharaman riba ini berlaku baik untuk penambahan dengan
nilai sedikit maupun dengan nilai besar. Larangan akan melalukan riba telah
tertulis jelas dalam al-qur’an tepatnya pada surat Al-Baqarah ayat 275 dan 279
beserta ayat-ayat berikutnya . Perbuatan riba sama halnya dengan dosa besar
yang bahkan lebih besar daripada melakukan zina, mencuri bahkan minum khamer.
Allah dan Rosulullah SAW telah melaknat siapapun yang memakan harta riba karena
riba sudah jelas hukumnya haram dalam agama Islam.
C. Macam-macam
Riba
Menurut sebagian ulama riba dibagi menjadi tiga yaitu Riba Nasi'ah, Riba Fadhal dan riba
Yad.
-
Riba Nasi'ah ialah riba yang sudah ma'ruf di kalangan jahiliyah, yaitu
seseorang menghutangi uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas
tertentu, dengan syarat berbunga sebagai imbalan limit waktu yang diberikan
itu. Misalnya, seorang yang berhutang seribu rupiah yang mesti dibayar dalam
jangka waktu yang telah
ditetapkan, tetapi tidak terbayar olehnya pada waktu itu, maka bertambah besar
jumlah utangnya, riba semacam inilah yang kini berlaku di bank-bank
konvensional.
Sufyan telah
meriwayatkan dari Humaid dari Maisarah dia berkata, "aku bertanya kepada
Ibn Umar, bahwa aku berhutang dengan bertempo, kemudian orang tempat aku
berhutang itu berkata "Lunaskanlah hutangmu sekarang ini juga dan kupotong
hutangmu itu.'' Ibnu Umar berkata ,itu Riba.
-
Riba Fadhal adalah tambahan pada salah satu dua
ganti kepada yang lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu yang sama secara
tunai. Islam telah mengharamkan riba ini dikarenakan dapat mengantarkan kepada
riba yang hakiki yaitu riba Nasi'ah.
Dari Abu Sa'id
al-Khudri, dia berkata; Bilal
datang menemui Nabi Saw membawa kurma burni (kurma yang bagus) lalu Nabi Saw
bertanya kepadanya; Darimana kamu mendapatkan ini? Bilal menjawab; kami
mempunyai kurma yang buruk lalu saya jual (tukar) dua Sha' dengan satu Sha'
kurma yang baik. Nabi berkata kepadanya; '' aduh bukankah ini yang dikatakan
riba dan yang dikatakan riba jangan kamu lakukan, namun jika kamu ingin
membeli, maka jual kurma yang buruk dan beli kurma yang baik.(Syaikhnani,
Muslim)
-
Menurut Sulaiman
Rasyid, Riba Yad adalah dua orang yang bertukar barang
atau jual beli berpisah sebelum timbang terima. Sedangkan menurut Ibn Qayyim,
perpisahan dua orang yang melakukan jual beli sebelum serah terima
mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi riba. Riba yad adalah riba yang terdapat
pada jual beli tidak secara tunai karena adanya penangguhan pembayaran. Dalam
hal ini, penjual menetapkan harga yang yang berbeda pada barang yang sama
antara pembeli tunai dan pembeli tidak tunai. Perbedaan harga inilah yang
menurut sebagian ulama termasuk riba karena adanya penambahan harga. Menurut
para ulama, hal ini merugikan pembeli.
Skema macam-macam riba :

D. Tafsir
Surah Al-Baqarah 275-279 (dasar hukum mengenai riba)
Persoalan riba telah dibicarakan Al-Qur'an sebelum surah
Al-Baqarah 275-279. Kata riba ditemukan dalam empat surah, yaitu Al-Imran,
An-Nisa', Ar-Rum dan Al-Baqarah. Ayat terakhir tentang riba adalah ayat-ayat
yang terdapat dalam surah Al-Baqarah. Bahkan ayat ini dinilai sebagai ayat
hukum terakhir atau ayat terakhir yang diterima oleh Rasul saw. Umar bin
Khaththab berkata, bahwa rasul saw. wafat sebelum sempat menafsirkan maknanya,
yakni secara tuntas.
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini telah didahului oleh
ayat-ayat lain yang bicara tentang riba, maka tidak heran jika kandungannya
bukan saja melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan
mengancam mereka. Ash-Shabuni menafsirkan ayat ini,
sebagai berikut :
1. Maksud "makan"
pada ayat di atas, ialah mengambil dan membelanjakannya. Kata ”makan"
ini sering pula dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain dengan cara
yang tidak benar.
2. Dipersamakannya pemakan-pemakan riba dengan orang-orang yang
kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu; Allah memasukan riba
dalam perut mereka itu, lalu barang itu memberatkan mereka. Hingga mereka itu
sempoyongan, bangun jatuh. Itu akan menjadi tanda mereka di hari akhirat nanti
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab :
Sebenarnya tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang
dalam kehidupan dunia. Mereka yang melakukan praktek riba, hidup dalam situasi
gelisah, tidak tentram, selalu bingun dan berada dalam ketidakpastian,
disebabkan kerena pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya.
Banyak orang, lebih-lebih yang melakukan praktek riba, menjadikan hidupnya
hanya untuk mengumpulkan materi, dan saat itu mereka hidup tak mengenal arah.
Benar, orang-orang yang memakan riba telah disentuh setan sehingga bingun tak
tahu arah.
3. Perkataan "
sesungguhnya jual beli sama dengan riba" itu
disebut "tasybih maqlub" (persamaan
terbalik), sebab "musayabbah bih"-nya nilainya lebih tinggi.
Sedangkan yang dimaksud disini ialah: Riba itu sama dengan jual beli, sama-sama
halalnya karena mereka berlebihan dalam keyakinannya, bahwa riba itu
dijadikannya sebagai pokok dan hukumnya halal. Sehingga dipersamakan dengannya
dengan jual beli. Menurut M. Quraish Shihab
Ucapan
”jual beli tidak lain kecuali sama
dengan riba" ucapan tersebut (Pelaku riba) menunjukkan bagaimana
kerancuan berpikir dan ucapan mereka. Mestinya mereka berkata "Riba, tidak lain kecuali sama dengan jual
beli" karena masalah yang dibicarakan masalah riba, sehingga itu
yang harus didahulukan penyebutannya, tetapi mereka membalikannya. Ini contoh sederhana dari pembalikan
logika mereka serta keterombangambingan yang mereka alami. Bisa jadi juga,
ucapan itu untuk menggambarkan, bertapa riba telah mendarah daging dalam jiwa
mereka sehingga menjadikannya sebagai dasar transaksi ekonomi yang diterima
sebagaimana halnya jual beli. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli, jual beli saling menguntungkan kedua
belah pihak, sedangkan riba merugikan salah satu pihak.
4. Yang menjadi
titik tinjauan dalam ayat
" Allah memusnahkan riba dan menumbuhkan sedekah" ialah
Allah menjelaskan, bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan penyebab tidak
berkembangnya harta itu. Sedangkan sedekah adalah penyebab tumbuhnya harta dan
bukan penyebab berkurangnya harta itu.
5. Kata "perang" dengan bentuk nakirah adalah
menunjukan besarnya persoalan ini, lebih-lebih dengan dinisbatkannya kepada
Allah dan Rasul. Seolah-olah Allah mengatakan: percayalah akan ada suatu
peperangan dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dikalahkan. Ini
memberi isyarat, bahwa akibat yang paling buruk akan dialami oleh orang-orang
yang biasa makan harta riba.
6. Perkataan
"Kaffar" dan "Atsiem" kedua-duanya termasuk
shighat mubalaghah, yang artinya: banyak kekufuran dan banyak berbuat dosa. Ini
menunjukkan, bahwa haramnya riba itu sangat keras sekali, dan termasuk
perbuatan orang-orang kafir, bukan perbuatan orang-orang islam.
7. Perkataan "Dan jika orang yang berhutang itu dalam
kesukaran, maka berilah kesempatan sampai ia berkelonggaran" itu untuk
memberi semangat kepada pihak yang menghutangi supaya benar-benar memberi
kepada pihak yang berhutang itu sampai ia benar-benar mampu. Rasul Saw.
bersabda:Barang siapa menangguhkan pembayaran hutang orang yang berada dalam
kesulitan, atau membebaskannya dari hutangnya, maka dia akan dilindungi Allah
pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya (hari kiamat) (HR. Imam Muslim).
8. Sebagian ulama
berkata, barangsiapa yang merenungkan ayat-ayat di atas dengan segala
kandungannya, seperti tentang siksaan pemakan riba, orang yang menghalalkan
riba serta besarnya dosanya, maka dia pun akan tahu betapa keadaan
mereka-mereka itu kelak di akhirat, mereka akan dikumpulkan dalam keadaan gila,
kekal di neraka, dipersamakan dengan orang yang kafir dan akan mendapat
perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam la'nat.
9. Ayat-ayat riba
ini ditutup dengan " dan takutlah kepada suatu hari dimana kamu
sekalian akan dikembalikan kepada Allah di hari itu, kemudian tiap-tiap jiwa
akan dibalas dengan penuh sesuai apa yang dikerjakan dan mereka tidak akan
dianiya." Dan ayat ini adalah ayat yang terakhir turun setelah
sembilan hari kemudian rasul saw wafat.
E. Illat
Hukum Larangan Riba
Yang
dimaksud dengan illat hukum adalah sesuatu sifat yang menjadi motivasi atau
yang melatar-belakangi terbentuknya suatu hukum. Menurut ulama Hanafiyah, illat hukum
keharaman riba al-nasi’ah adalah kelebihan pembayaran dari pokok hutang yang
ditunda pembayarannya pada waktu tertentu. Misalnya, Ahmad berhutang kepada
Amir sejumlah dua ratus ribu rupiah, yang pembayarannya dilakukan bulan depan
dan dengan syarat pengembalian hutang itu dilebihkan menjadi dua ratus lima
puluh ribu rupiah. Kelebihan uang dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba
al-nasi’ah. Unsur kelebihan pembayaran dapat berlipat ganda, apabila hutang
tidak dapat dibayar pada saat jatuh tempo, menurut ulama Hanafiyah,
merupakan suatu kezaliman dalam muamalah. Kezaliman, bagaimanapun bentuknya,
menurut mereka adalah haram. Oleh karena itu, Allah menyatakan pada akhir
ayat riba al-Baqarah, 2 ; 279 : “….kamu tidak (jangan) menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya”. Ulama Malikiyyah , Syafi’iyyah dan Hanabilah memandang illat
hukum larangan riba an-nasi’ah, karena ada kelebihan (tambahan-bunga) yang
dikaitkan dengan pembayaran tunda (tenggang waktu), baik kelebihan itu dari
pokok hutang atau pada barang sejenis maupun tidak sejenis. Mereka
sepakat, jika kelebihan itu tidak ditetapkan dimuka, maka kelebihan itu tidak
termasuk riba. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi,
ketika membayar hutang kepada Jabir ibn’ Abdillah , Nabi melebihkannya. (
hadits riwayat Bukhori Muslim).
Berdasarkan pendapat ulama ahli fiqh mengenai riba diatas, maka dapat dipahami
bahwa illat hukum larangan riba adalah adanya tambahan (bunga) dari pokok harta
yang tidak dimbangi oleh transaksi pengganti yang dibenarkan oleh syara’.
Kontroversi Seputar Fatwa MUI Tentang Bunga Bank
MUI
akhirnya menjatuhkan vonis haram atas bunga bank, tepat di penghujung tahun
2003 kemarin. Tak ayal, keputusan yang oleh sebagian orang diangap mendadak ini
memancing respons dari pelbagai pihak. Tidak sedikit yang kemudian
bertanya-tanya. Benarkah bunga yang selama ini dijadikan basis oleh bank-bank
konvensional adalah riba? Tidak adakah pengecualian untuk bunga yang “wajar”
dan proporsional? Bagaimana kesimpulan halal atau haramnya bunga bank
diperoleh?
Tulisan
ini akan mencoba untuk melakukan pengkajian ulang, dari sudut pandang syariah
Islam, terhadap bunga bank. Mudah-mudahan ia dapat memberi kontribusi untuk
melihat jelas duduk persoalan bunga bank.
ANTARA
BUNGA DAN RIBA
Pada
dasarnya, bagi bank-bank konvensional, bunga memang merupakan salah satu aspek
yang memainkan peran yang sangat vital dalam kegiatan usahanya. Hal ini
disebabkan ia terkait langsung dengan banyak dari produk jasa bank itu sendiri.
Baik itu berbentuk simpanan maupun kredit. Masing-masing dengan bentuknya yang
beraneka ragam seperti giro, deposito berjangka, tabungan, obligasi, KUK, dan
lain-lain. Mengingat luasnya bidang usaha perbankan tersebut, pembahasan ini
akan lebih memfokuskan diri pada konsep bunga bank itu sendiri dan tidak
terlalu jauh merinci aplikasi sistem bunga dalam praktiknya. Menurut Dahlan
Siamat, bunga (interest), “dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman;
dan dari sisi penawaran merupakan pendapatan atas pemberian kredit.”
Bunga
di sini dipandang sebagai sewa atau harga dari uang. Ia adalah imbalan atas pemakaian
uang. Katakanlah Anda meminjam dana sebesar Rp. 10.000 dari Bank XYZ. Pada
akhir tahun, Anda diharuskan untuk mengembalikan sebesar Rp. 10.100. Selisih
antara uang pokok dan jumlah yang harus dikembalikan, yaitu Rp. 100, adalah
bunga.
Selanjutnya adalah riba. Lebih
khusus lagi riba yang berhubungan langsung dengan transaksi keuangan atau
utang-piutang. Dalam hal ini adalah riba nasi’ah dan riba jahiliyyah.
Dalam Al-Qamus Al-Fiqhiy, riba nasi’ah dirumuskan dengan “tambahan
yang dipersyaratkan yang diambil oleh pemberi piutang dari orang yang berutang
sebagai ganti penundaan (pembayaran).”
Adapun
riba jahiliyyah, maka ia dijelaskan sebagai “ketika seseorang
berutang pada orang lain dan waktu pelunasan telah jatuh tempo, pemberi piutang
berkata: engkau lunasi sekarang atau engkau menambah (waktu pelunasan)? Jika ia
memberi tambahan (waktu), ia juga mewajibkan tambahan (atas uang pokok).”
Dengan kata lain, riba jahiliyyah adalah kredit yang dibayar lebih dari
pokoknya karena kreditur tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang
ditetapkan.
Dari
dua rumusan riba di atas nampak bahwa inti dari riba dalam transaksi keuangan
dan utang-piutang, menurut pengertian ahli-ahli fiqhi, adalah penambahan
atas utang. Inti dari riba ini persis sama dengan pengertian bunga.
Sehingga bisa dikatakan bahwa sebenarnya riba adalah terjemahan Arab dari kata
“bunga”. Untuk contoh yang dikemukakan tadi, Anda sebenarnya cukup
mengembalikan utang dalam jumlah yang sama dengan yang Anda pinjam: Rp. 10.000.
Tambahan Rp. 100, dalam kaca mata Islam, adalah riba.
DALIL-DALIL
TENTANG HARAMNYA BUNGA BANK
Dalil-dalil
yang mengharamkan bunga diangkat dari Al-Qur’an, Hadits, atsar-atsar
dari sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم dan ijma’. Berikut perinciannya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. al-Baqarah(2): 278-279)Ayat ini
menegaskan bagian yang berhak diambil oleh debitur atas kredit yang ia berikan,
yaitu “ru’usu amwalikum”, pokok hartamu. Tidak lebih tidak kurang.
Senada dengan ayat ini adalah hadits berikut :
oAbdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma berkata: “Barangsiapa yang memberi pinjaman, janganlah ia
mempersyaratkan (keuntungan tertentu) selain pelunasan (uang pokoknya).”
o Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang memberi
piutang, janganlah ia mempersyaratkan (sesuatu) yang lebih dari piutangnya.
Karena walaupun hanya segenggam makanan hewan (yang engkau ambil) maka ia
adalah riba.”
oPara ulama Islam telah ijma’ (konsensus) mengenai haramnya bunga.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan: “Telah sepakat para ulama bahwa
kreditor, jika ia mempersyaratkan tambahan atas kredit yang ia berikan, sebagai
sesuatu yang haram.”
Dalam
disertasinya, Dr. Umar al-Mutrik menghimpun sebelas pernyataan ulama, dari
zaman yang berbeda-beda, yang melaporkan ijma’ ini.Demikianlah dalil-dalil
mengenai haramnya bunga. Tidak terkecuali, tentu saja, termasuk di dalamnya
bunga bank. Semua dalil yang diangkat tadi berlaku umum dan universal, sebagaimana
keumuman dan universalisme Islam itu sendiri.Sampai di sini, Anda mungkin
menangkap bahwa pembicaraan kita sejak tadi hanya berkisar pada bunga atas
pinjaman. Lalu, apa pasal dengan simpanan? Apakah hukum riba ini juga berlaku
untuk tambahan atas simpanan? Berikut ini pembahasaannya.
JASA
PENYIMPANAN BANK DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
Akar
permasalahannya ialah: benarkah simpanan di bank (berupa giro, deposito atau
tabungan) adalah “simpanan” menurut Islam? Persoalan ini hendaknya diperjelas
terlebih dahulu untuk mendapatkan jawaban yang benar-benar islami. Simpanan,
yang dalam terminologi para ahli fiqhi disebut wadi’ah, didefinisikan
sebagai amanah yang sengaja ditinggalkan pada orang lain untuk dijaga. Sebagaimana
pada jenis transaksi syariah yang lain, wadi’ah juga memiliki ciri-ciri
khusus yang membedakannya dengan transaksi-transaksi syari’ah yang lain. Di
antaranya adalah,
Pertama, aset yang disimpan berstatus
amanah. Ketentuan ini bermakna bahwa kerusakan dan atau kehilangan yang terjadi
pada aset tersebut diluar tanggung jawab penerima simpanan. Aturan ini berlaku,
dengan catatan, tidak ada unsur kelalaian dan atau kesengajaan pada rusak atau
hilangnya aset yang dimaksud. Penerima simpanan telah melakukan prosedur yang
semestinya terhadap barang simpanan. Pakaian disimpan di dalam lemari, uang di
brankas, dan mobil di garasi; adalah contoh-contoh sederhana. Ketentuan ini
didasarkan pada sebuah hadits Nabiصلى الله عليه وسلم “Barangsiapa yang
diberi simpanan, ia tidak wajib menanggung.” Demikianlah jaminan hukum yang
diberikan Islam kepada penerima simpanan.
Kedua, di sisi lain, penerima simpanan juga diikat oleh aturan
lain. Penerima simpanan tidak dibenarkan oleh syariah untuk melakukan transaksi
dalam bentuk apapun terhadap barang simpanan yang ada di tangannya. Tidak untuk
tujuan produktif maupun konsumtif. Aset tersebut bukan miliknya, ia tetap
merupakan milik penuh pemberi simpanan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini
merupakan pengkhianatan terhadap amanah yang ia pegang.
Demikianlah
beberapa di antara spesifikasi wadi’ah dalam Islam. Berdasarkan pada
spesifikasi wadi’ah ini, tidak sulit untuk memahami bahwa konsep wadi’ah
dalam Islam sangat jauh berbeda dengan praktik pada jasa penyimpanan uang di
bank. Seorang nasabah tidak akan mau ambil pusing terhadap kerugian yang
diderita bank akibat kebakaran, misalnya. Ia tetap akan menuntut untuk
mendapatkan kembali uang depositonya. Plus, bunga yang dijanjikan bank. Di lain
pihak, bagi bank sendiri, uang simpanan nasabah adalah sumber dana baginya
untuk menjalankan roda kegiatan usahanya. Dana ini selanjutnya akan
dialokasikan kepada bentuk bidang-bidang usaha bank yang lain.
Kalau demikian halnya, apakah hakikat simpanan pada bank menurut Islam? Melihat
karakteristik simpanan uang di bank, ia adalah kredit oleh bank dari
masyarakat. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sendiri menyebutkan bahwa
kredit (dalam jasa bank) adalah
“penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
Tidak
menjadi masalah bagi pihak debitor untuk tujuan apa kreditnya akan
dimanfaatkan. Pihak peminjam bebas melakukan transaksi apa saja yang ia
kehendaki terhadap kredit yang ia peroleh. Yang penting, debitor mendapatkan
kembali uangnya setelah jangka waktu yang disepakati.Ini berarti, bunga yang
diserahkan oleh pihak bank terhadap nasabahnya yang menyimpan uang adalah riba
yang diharamkan Islam. Ia adalah tambahan atas utang.Walau demikian, beberapa
pemikir memandang bunga bank dalam perspektif yang berbeda.
Sementara pemikir ini berpendapat
bahwa bunga bank memiliki alasan-alasan pembenaran tersendiri.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa mata uang dinar dan dirham relatif lebih stabil
dibandingkan dengan mata uang lain. Kekebalan relatif ini disebabkan oleh nilai
intrinsik (nilai nominal yang tertulis sesuai dengan nilai bahan baku) yang
dimiliki mata uang ini karena terbuat dari emas dan perak. Berbeda dengan mata
uang lain yang tidak memiliki nilai intrinsik tersebut. Terlebih lagi karena ia
adalah mata uang tidak berbangsa.
Dalam
kondisi stabil, selama kurun waktu 1.500 tahun, dengan modal uang 1-2 dinar,
misalnya, seseorang tetap dapat membeli seekor kambing, tergantung pada besar
dan kecilnya. Demikianlah sebagian keunggulan yang dimiliki oleh dinar dan
dirham. Akan tetapi, mengasumsikan bahwa dinar dan dirham sama sekali tidak
mungkin didera inflasi juga terlalu berlebihan. Karena pada akhirnya,
betapapun, nilai yang dimiliki oleh dinar dan dirham adalah nilai yang
diberikan oleh publik. Sama seperti nilai yang telah diberikan publik kepada
mata uang lain. Sehingga, seluruh dampak mekanisme pasar yang mungkin menimpa
mata uang lain juga mungkin terjadi pada dinar dan dirham.
Ibnu Taimiyah, yang bernota bene
hidup di era penggunaan dinar dan dirham (w. 728 H/1328 M), pun menyadari hal
ini. Ia mengakui bahwa mata uang pada masanya tersebut bukanlah maksud dan
tujuan akhir. Ia tidak lebih dari sekadar fasilitas dalam transaksi manusia.
Nilai yang dimilikinya diperoleh dari konsensus publik. Media apa pun, jika
memiliki fungsi dan nilai yang sama, dapat menggantikan perannya. Sependapat
dengan Ibnu Taimiyah, jauh sebelumnya, Malik telah menyatakan bahwa seandainya
manusia sepakat untuk mempergunakan kulit-kulit binatang sebagai uang maka ia
akan menghukuminya sama sebagaimana hukum dinar dan dirham.
Selanjutnya, andaipun kita ingin menjadikan inflasi sebagai faktor yang
dipertimbangkan dalam pembayaran hutang, maka hendaknya kita melakukannya
secara adil dan konsisten. Disamping memperhitungkan kondisi inflasi, kita pun
hendaknya memperhitungkan kondisi deflasi.
Tersisa masalah “zulm” yang diangkat dan dijadikan sebagai ‘illat.
Secara sederhana, ada baiknya bagi kita untuk secara jeli membedakan antara
hikmah dan ‘illat. Jika yang disebut pertama tidak dapat dijadikan sebagai
landasan qiyas (metode analogi hukum Islam), yang disebut terakhir justru
sebaliknya. Ia merupakan komponen penting dalam metodologi qiyas. Untuk lebih
mudahnya, ambil contoh ibadah puasa. Sudah jamak diketahui bahwa ritual ini
ternyata terbukti membawa dampak positif bagi kesehatan seseorang. Dampak
positif bagi kesehatan di sini adalah hikmah puasa. Dan tentu merupakan sebuah
kekeliruan jika seseorang enggan melakukan kewajiban puasa dengan alasan
kondisi kesehatannya telah optimal sehingga tidak lagi membutuhkan puasa.
a. Bunga yang dilarang adalah bunga yang keji dan
berlipat ganda (riba fahisy). Suku bunga yang wajar dan proporsional
diperkenankan. Bukankah Allah sendiri berfirman di dalam Al-Qur’an:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُو
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran[3]: 130)
Tanggapan
Dalil-dalil pengharaman bunga telah menetapkan bahwa kreditor tidak berhak
mendapatkan selain modal pokok yang ia berikan. Penunjukannya lebih jelas dan lebih
pasti terhadap perkara besar atau kecilnya bunga. Sedangkan penyebutan
“berlipat-lipat” di dalam ayat ini adalah semata-mata dalam rangka menjelaskan
kenyataan yang kerap terjadi di dalam praktik riba. Ayat tersebut sama sekali
tidak mengindikasikan pembatasan jenis riba yang terlarang pada bunga yang
berlipat-lipat saja. Gaya bahasa semacam ini dapat kita temukan pada banyak
tempat dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah dalam surat sebelumnya,
Al-Baqarah, pada ayat 41 disebutkan:
فَاتَّقُونِ
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ
“… dan janganlah kamu menukarkan
ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus
bertakwa.”
Ayat ini tentu tidak bermakna bahwa boleh menukarkan ayat-ayat Allah apabila
dengan harga yang tinggi. Ayat ini menyebut “harga yang rendah” untuk
menginformasikan bahwa demikianlah keadaannya yang banyak terjadi. Adakah
sesuatu yang lebih mahal daripada ayat-ayat Allah?
Memahami teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan Hadits) secara parsial memang dapat
membawa kepada kesalahan fatal. Untuk terhindar dari kesalahan ini, seorang
peneliti hendaknya memahami teks-teks tersebut sebagai sebuah kesatuan yang
utuh. Tidak tergesa-gesa menyimpulkan sebelum melihat teks-teks yang lain,
utamanya yang juga membahas topik yang sama.
b. Pihak debitor telah mengorbankah modalnya
kepada pihak kreditor untuk ia kelola sehingga mendapatkan hasil. Seandainya
modal tersebut ia investasikan, tentu ia akan mendapatkan untung yang mungkin
jauh lebih banyak. Maka sudah selayaknya jika pengorbanan ini dihargai dalam
bentuk pemberian bunga.
Tanggapan
Dalam utang-piutang, pihak debitor sebenarnya tidak dirugikan. Bahkan ia
diuntungkan. Pasalnya, keberadaan uangnya pada kreditor menjadi jaminan
terhadap uang tersebut. Bukankah keberadaan uangnya di tangannya membawa risiko
uang tersebut terbakar, dicuri dan sebagainya? Ketika uang tersebut ia
pinjamkan, bahkan seandainya kreditor sedang menderita kerugian, ia tetap
berhak terhadap sejumlah uangnya secara penuh. Ini yang pertama.
Persoalan kedua, atas dasar apa sehingga debitor ini selalu mengasumsikan
dirinya mendapatkan untung dari usahanya. Bukankah setiap usaha selalu
menghadapi risiko gagal? Di sini, ia telah bertindak diskriminatif. Sebab
dengan sistem bunga, ia telah menjadikan dirinya dalam posisi selalu beruntung
dengan mengabaikan risiko untung-rugi kreditor.
FATWA-FATWA
TENTANG BUNGA BANK
Setelah melihat dalil dari
masing-masing, jelas kiranya bahwa fatwa pengharaman bunga bank sudah
semestinya diterima dengan baik. Dibandingkan dengan negara berpenduduk mayoritas
Muslim yang lain, Muslim Indonesia bisa dikatakan terlambat. Sebab fatwa
haramnya bunga bank sebenarnya telah lama didengungkan di dunia luar. Tercatat
sejak tahun 1900 hingga 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir senantiasa
menegaskan keputusannya tentang ribanya bunga bank. Tahun 1970, di Pakistan,
semua peserta Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) II, sepakat dengan suara
bulat bahwa praktik bunga pada bank-bank konvensional bertentangan dengan syariah
Islam. Fatwa senada juga dikeluarkan masing-masing oleh Konsul Kajian Islam
Dunia di Kairo tahun 1965; Majmaul Fiqh Liga Muslim Dunia, Konferensi
Internasional Ekonomi Islam I yang berlangsung di Mekah, dan Konferensi
Internasional Fiqh Islam yang diselenggarakan di Riyadh. Abdullah al-Bassam
bahkan melaporkan bahwa fatwa riba bank telah menjadi kesepakatan dalam
seluruh forum fiqh Islam di dunia saat ini. Disamping itu, tidak ketinggalan
pula fatwa-fatwa dari ulama-ulama besar dan cendikiawan Muslim, seperti Syaikh
Muhammad bin Ibrahim, Syaikh Abdullah bin Baz, Abul A’la al-Maududi, Dr. Yusuf
al-Qardhawi, dll. Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak ungkapan Abdullah
bin Sulaiman al-Mani’ tentang transaksi keuangan berikut ini “Siapa pun yang memperhatikan
secara saksama ajaran Islam mengenai aktivitas individu dan masyarakat dalam
pengumpulan harta dan pendistribusiannya akan memperoleh kesan bahwa Islam
telah berusaha mempersempit ruang tukar-menukar uang . . . dan bahwa keluarnya
uang dari perspektif ini akan berimplikasi negatif . . . karena menumpuknya
uang pada sejumlah kecil manusia akan memberi mereka peluang hegemoni terhadap
kebutuhan masyarakat luas . . . . ”
Wallahu ta’ala a’lam
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment